Sunday, February 18, 2018

Anggaran Mencekik, Kelola Sampah Makin Sulit

BUTUH KESADARAN DAN ANGGARAN: Penanganan sampah masih menjadi tugas berat pemerintah, banyak titik seperti di aliran drainase yang sulit diangkat jika tanpa alat berat. Naib/kp

PROKAL.COTANA PASER – Program nasional yang mengusung tiga bulan bersih sampah (TBBS) dalam rangka Hari Peduli Sampah Nasional 2018, terhitung sejak 21 Januari hingga 21 April 2018, tampaknya sulit terwujud di Bumi Daya Taka. Ini lantaran pengelolaan yang tak pernah baik.
Meski ada petugas kebersihan kota dan tempat pembuangan sementara (TPS) yang setiap hari bekerja, produksi sampah rumah tangga dan maupun perkantoran khusus di ibu kota Tana Paser saja volumenya cukup tinggi. Belum dari kecamatan lain. “Besaran produksi sampah tidak seiring dengan peningkatan sarana dan prasarana penanganannya. Penanganan dan pengurangan sampah pun belum menjadi prioritas pembangunan sektor sanitasi daerah,” ujar Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Paser Romif Erwinadi belum lama ini.
Setiap tahunnya, sejak 2011, jelas Romif, volume sampah di Paser terus meningkat. Angkanya yakni 1, 7 liter atau 0,5 kilogram per jiwa untuk sehari. Peningkatan besaran produksi sampah permukiman tidak berbanding lurus dengan penyediaan infrastruktur. Persentase sampah terkelola hingga akhir 2017 sebesar 31.98 persen dengan rasio pelayanan sebesar 38.37 persen per 1.000 jiwa.
Selama 2017, sampah yang dapat direduksi hanya sekitar 283,79 ton atau 2,10 persen dari total sampah yang tertangani. Sedangkan program nasional pengurangan sampah saat ini, minimal 30 persen pada 2025. “Paradigma masyarakat yang masih beranggapan bahwa sampah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan kewajiban masyarakat cukup dengan membayar iuran retribusi yang telah ditetapkan. Inisiasi penanganan dan pengurangan sampah di sumber berbasis masyarakat perlu dikembangkan,” sebutnya.
Sementara Lurah Tanah Grogot M Yatiman mengakui, sulitnya menggerakkan masyarakat agar mau peduli terhadap lingkungan. Salah satunya memulai kembali budaya gotong royong. Komunikasi di tingkat RT kepada masyarakat menjadi salah satu penyebab. Padahal saat beberapa kali kelurahan mengajak gotong royong, antusias masyarakat cukup besar.
“Apalagi saat para pejabat dan armada yang bisa diturunkan. Karena masyarakat sangat senang bila ada pendampingan dari pemerintah. Di samping itu, banyak titik sampah di parit, khususnya yang sulit diangkat jika hanya menggunakan tangan kosong,” jelas Yatiman.
Selain itu, para pelaku usaha yang berjualan di pinggir jalan, kata Yatiman, sering kali tidak perduli terhadap paritnya. Sehingga menyebabkan kebuntuan saluran menuju hilir. Dia menginginkan ada teguran keras dari instansi terkait agar para pelaku usaha tersebut bisa peduli terhadap lingkungannya. “Jika memang sudah ditegur masih tidak ada efeknya, cabut izin usahanya kalau perlu,” pungkasnya. (*/jib/iza/k9)


No comments:

Post a Comment